Channel Avatar

ABU MARLO @UCdpe62PA5yN7N3MBaXNDouw@youtube.com

180K subscribers - no pronouns :c

DIALOGUE POSITIVE


Welcoem to posts!!

in the future - u will be able to do some more stuff here,,,!! like pat catgirl- i mean um yeah... for now u can only see others's posts :c

ABU MARLO
Posted 9 hours ago

“Mayat yang Takut Mati”

Nara:
“Kalau aku meninggal duluan, kamu bakal nikah lagi?”

Aksa:
“Pertanyaannya salah. Harusnya: kalau kita hidup, masih bisa saling mencintai?”

Nara tersenyum tipis. Senyumnya bukan bahagia, tapi sisa tenaga untuk tetap terlihat hidup.
Sudah lama sekali mereka tidak tertawa, tidak saling menatap dengan mata yang benar-benar ingin tahu, “Apa kabar jiwamu hari ini?”

Mereka tidak berteriak. Tidak bertengkar.
Tapi itulah tragedi paling sunyi: dua orang yang saling menyayangi, tapi tidak lagi saling menjangkau.

Cincin masih di jari manis. Tapi rasa sudah lama mengendap jadi debu.
Tak pernah dihapus, tapi juga tak pernah dibersihkan.

Nara:
“Aku bukan takut mati.”
Aksa:
“Lalu kenapa kamu selalu gelisah?”
Nara:
“Aku takut mati… sementara kamu belum sadar bahwa kamu juga udah gak hidup.”

Aksa menunduk. Tak ada yang bisa ia bela. Dirinya sendiri pun tak lagi ia kenali.
Ia terlalu sibuk mengejar segalanya, kecuali satu hal: dirinya sendiri. Dan dirinya bersama Nara.

Malam itu, Nara tidak banyak bicara. Ia hanya meminta satu: pelukan.

Aksa memeluknya. Tubuh Nara hangat, tapi pelukannya terasa seperti ucapan selamat tinggal yang manis.
Dan ketika pagi datang, kehangatan itu tak lagi ada.

Nara pergi. Diam-diam. Dalam tidurnya.
Tangan kirinya masih menyentuh dada Aksa.
Cincinnya… sudah tidak di jari. Tapi diletakkan di atas surat kecil, hanya berisi satu kalimat:

“Terima kasih pernah membuatku merasa hidup, walau cuma sebentar.”

Aksa menangis bukan karena kehilangan. Tapi karena sadar:
yang ia cintai sudah lama mati dalam sunyi, sementara ia masih hidup sebagai mayat yang takut mengakui itu.

Tidak semua orang mati saat tubuhnya berhenti bernapas.
Sebagian mati saat cinta tak lagi punya tempat untuk pulang.
Dan mereka tetap hidup, hanya agar dunia mengira mereka baik-baik saja.

-AM

151 - 10

ABU MARLO
Posted 1 day ago

“Pemeluk Tafsir”

IQBAL:
Schuon… aku makin yakin, banyak orang sebenarnya tidak memeluk agama.
Mereka hanya memeluk tafsir tentang agama.

SCHUON:
Tepat sekali. Mereka mencintai kesimpulan bukan pencarian.
Lebih setia pada penafsiran gurunya daripada membuka hati kepada yang Maha Mengatasi Segala Makna.

IQBAL:
Dan saat tafsir itu tergugat, mereka merasa Tuhan-nya terancam.
Padahal Tuhan… tak pernah bisa dikurung dalam kalimat,
apalagi dalam fanatisme golongan.

SCHUON:
Agama mestinya menghidupkan batin.
Tapi yang sering dirawat justru kulitnya: simbol, seragam dan jargon.

IQBAL:
Nabi datang menyalakan kesadaran.
Tapi setelah beliau pergi, yang diwarisi bukan kesadaran itu melainkan bangunan.
Dan bangunan itu kini dijaga seperti istana,
padahal di dalamnya… sering hampa.

SCHUON:
Manusia takut kehilangan kepastian,
maka ia berpegang pada tafsir sebagai tambatan.
Tapi kadang tambatan itu justru menjauhkan dari samudra.

IQBAL:
Aku tak menolak tafsir. Tapi jika ia membuatmu merasa paling benar dan tak bisa mencintai…
mungkin itu bukan lagi cahaya tapi bayang-bayangmu sendiri.

SCHUON:
Tuhan tidak sedang menunggu kita membela-Nya.
Dia menunggu kita hening…
agar bisa dikenal, tanpa teriakan, tanpa bendera.

IQBAL:
Di luar sana, suara-suara keras bersahutan membawa ayat.
Tapi aku lebih percaya pada mereka yang memeluk sunyi,
dan membawa kebaikan tanpa menjual nama Tuhan.

SCHUON:
Karena yang sejati tak butuh pengakuan.
Ia cukup hadir… dan menyembuhkan.

Para nabi tak mewariskan institusi, mereka meninggalkan cahaya. Tapi ketika cahaya itu padam, manusia mulai menyembah bentuk dan lupa bahwa bentuk tanpa makna hanyalah berhala lain yang lebih sopan.

-AM

276 - 14

ABU MARLO
Posted 2 days ago

“Menunggu Maaf”

Alya:
“Kamu selalu nyalahin aku, selalu! Aku capek jadi satu-satunya yang minta maaf!”

Raka:
“Karena kamu emang nggak pernah ngerti aku! Kamu pikir semua harus tentang kamu!”

Suara mereka saling menghantam, seperti dua petir jatuh bersamaan.
Padahal jaraknya hanya satu sofa. Tapi hati mereka entah di benua mana.

Mereka sama-sama duduk, tapi tak ada yang bergerak.
Keduanya terluka, tapi gengsi siapa yang duluan mengaku lemah.
Padahal yang mereka butuhkan bukan kemenangan…
tapi pelukan.

Alya menggigit bibirnya, menahan air mata.
Raka menatap ke arah jendela, pura-pura tenang, padahal dadanya bergetar.

Semua kata yang ingin diucap tersangkut di kerongkongan:
“Maaf.”
“Aku cuma takut kehilangan kamu.”
“Aku lelah marah padamu karena aku cinta kamu.”

Tapi lidah tak semudah itu dikalahkan.
Karena kadang, ego lebih cepat bicara daripada cinta.

Malam makin sunyi. Tak ada yang bicara.
Sampai akhirnya Alya berdiri, melangkah ke arah kamar.
Setengah berharap Raka menahan.

Dan…
“Ly…,” suara itu lirih.
Langkah Alya berhenti.
“Kalau aku minta maaf duluan… kamu masih mau peluk aku?”

Alya menoleh. Senyumnya pecah, air matanya jatuh.

Ia kembali. Memeluk Raka erat.
Dua luka saling merawat.
Dua hati yang tadinya menjauh… akhirnya kembali berdekatan.

Karena kadang, yang paling cinta adalah yang paling duluan meruntuhkan bentengnya.

Dan maaf bukan soal siapa yang salah. Tapi soal siapa yang lebih ingin tetap bersama.

“Ketika dua orang saling teriak, sesungguhnya yang berjarak bukan suara mereka, tapi hatinya.”

-AM

278 - 9

ABU MARLO
Posted 3 days ago

“Apa Salahku Menjadi Aku?”

Rey:
Aku capek, kenapa setiap ngobrol sama orang tua rasanya selalu meledak? Aku kesel terus dibandingin sama sepupu yang katanya lebih rajin, lebih nurut, lebih segalanya. Aku cuma mau teriak: “Kalau kalian mau aku kayak dia, tanam dulu bibit yang sama, bukan cuma nuntut buah yang nggak pernah kalian rawat!”

Wisnu:
Ledakan itu hasil dari luka lama yang “nggak kelihatan”. Kadang yang bikin kita marah itu bukan cuma kata-kata mereka, tapi rasa nggak pernah cukup di mata mereka.

Rey:
Iya, aku ngerasa aku harus terus pura-pura jadi orang lain. Aku capek banget.

Wisnu:
Itu wajar, Rey. Karena kita lahir bukan untuk jadi duplikat orang lain. Kita lahir untuk tumbuh jadi versi terbaik dari diri sendiri, bukan versi yang mereka rancang.

Rey:
Tapi… wajar ya, kalau aku selalu meledak kayak gini?

Wisnu:
Wajar, itu artinya hatimu masih hidup. Kamu nggak mau terus terjebak jadi bayangan yang nggak pernah kamu pilih.

Rey:
Aku sering nanya ke diriku: “Apa salahku menjadi aku?” Kenapa harus aku yang berubah, kenapa bukan mereka yang belajar ngerti?

Wisnu:
Karena orang tua sering lupa: anak bukan kertas kosong yang bisa ditulis ulang. Anak itu taman yang harus dirawat. Yang mereka lihat hari ini bukan anak yang gagal, tapi cermin dari apa yang pernah mereka berikan atau yang nggak pernah mereka beri.

Rey:
Jadi aku boleh ya, berhenti berusaha jadi orang lain?

Wisnu:
Bukan cuma boleh, Rey. Kamu perlu. Karena marahmu bukan hal memalukan. Itu tanda kamu masih punya keberanian buat bilang: “Aku punya hidup sendiri, dan aku nggak mau hidup ini cuma jadi proyeksi mereka.”

Rey:
Aku cuma pengen jadi aku. Biarpun nggak sempurna, tapi nyata.

Wisnu:
Rey, sempurna itu cuma ilusi. Yang kamu butuhin sekarang adalah keberanian buat jadi versi utuh dari dirimu dengan semua yang kamu bawa, semua yang kamu punya. Biar mereka belajar: anak bukan patung yang bisa diukir seenaknya, tapi taman yang harus dijaga.

Rey:
Aku mau coba kasih ruang buat diriku sendiri. Biar aku bisa tenang dan berhenti ngerasa salah hanya karena aku beda.

Wisnu:
Itu langkah bijak, kamu bukan gagal tetapi sedang bertumbuh supaya nggak jadi bayangan yang nggak pernah kamu pilih.

-AM

368 - 18

ABU MARLO
Posted 4 days ago

“Sandiwara Balas Rasa”

Uni:
Pak Rahman… saya tau ini kekanak-kanakan. Tapi saya meledak. Saya menghilang dari Rico.

Pak Rahman:
Karena?

Uni:
Karena dia bilang “ketiduran,” tapi jam 11.07 masih online.
Lagi-lagi saya yang terlalu lebay katanya. Tapi saya nggak bilang apa-apa dan lenyap tanpa kode.
Terus saya unfollow dia. Terus… saya follow mantan saya.

Pak Rahman:
Kamu balas dendam?

Uni:
Saya cuma ingin dia ngerasain yang saya rasain.
Saya pengen dia kebingungan, mikir, panas dingin.
Saya nggak tuntut penjelasan. Saya nggak cari drama.
Saya ciptakan dramanya.

Pak Rahman:
Dan kamu lega?

Uni:
Satu jam pertama sih… yes. Tapi setelah itu…
saya refresh story, dia diem aja. Enggak nyariin. Enggak nanya.
Saya makin meledak.
Saya bikin story lagu “Karma is real” terus ngasih caption: “Dulu kamu penting, sekarang cuma pelajaran.”

Pak Rahman:
Dan dia?

Uni:
Still silent. Dan saya makin panas.
Saya DM temennya: “Rico sibuk ya? Banyak project atau ada cewek baru?”
Saya habis akal, Pak. Tapi gengsi saya segunung.
Saya enggak akan chat duluan.
Saya enggak akan minta maaf.
Dan ketika akhirnya dia cuma bilang, “kok kamu childish banget sih?”
Saya langsung ngegas:
“I don’t hate you… but I hate myself!!”

Pak Rahman:
Kenapa kamu benci diri kamu, Uni?

Uni:
Karena saya sadar semua ledakan ini… bukan buat dia.
Saya cuma pengen dia tau sakitnya jadi saya.
Tapi saya malah jadi versi paling buruk dari diri saya sendiri.

Pak Rahman:
Kamu gak butuh Rico. Kamu butuh ngebales masa lalu yang pernah ninggalin kamu tanpa penjelasan dan Rico dijadikan sasaran uji coba emosi kamu.

Uni:
Jadi saya bukan bener-bener cinta?

Pak Rahman:
Bisa jadi kamu cinta… tapi yang kamu peluk bukan orangnya, tapi trauma kamu sendiri.
Kamu tidak sedang membangun hubungan, Uni.
Kamu sedang menjalankan sandiwara balas rasa.

Uni:
Terus saya harus apa?

Pak Rahman:
Buka ruang komunikasi… atau buka diri buat konsultasi. Karena kalau kamu terus begini, kamu bukan cuma kehilangan orang lain. Kamu kehilangan dirimu sendiri dengan gaya dramatis, penuh musik latar, tapi kosong di ujungnya.

“Kadang kamu bilang cinta, padahal kamu cuma pengen seseorang ngerasain sakit yang kamu simpan sendiri.”

-AM

250 - 9

ABU MARLO
Posted 5 days ago

Jika ketiganya diskusi di warung kopi…


Yesus menatap ke langit dan berkata dengan lembut:

“Dunia makin sibuk mencari kebenaran di luar, padahal Kerajaan Tuhan itu ada di dalam diri manusia. Tapi banyak yang lupa duduk diam dan mendengarkannya.”

Buddha tersenyum tipis dan menjawab:

“Ya, penderitaan lahir dari keinginan yang tidak disadari. Orang mengejar kebahagiaan seperti mengejar bayangan. Padahal jika mereka hanya diam dan menyadari napas… kedamaian itu sudah ada.”

Muhammad mengangguk, lalu berkata dengan penuh kasih:

“Umatku sering berdebat tentang surga dan neraka, padahal rahmat-Ku mendahului murka-Ku. Tuhan lebih dekat dari urat leher, tapi manusia sibuk mencari Dia di luar diri dan saling menyalahkan dalam nama-Nya.”

Ketiganya hening sejenak. Lalu Yesus bertanya:

“Bagaimana bisa manusia menyebut nama kita sambil membenci satu sama lain?”

Buddha menimpali:

“Karena mereka mencintai citra, bukan esensi. Nama kita jadi identitas, bukan jalan keluar dari penderitaan.”

Muhammad menghela napas dan berkata:

“Andai mereka tahu, agama bukan tujuan… tapi kendaraan. Aku tidak diutus untuk membuat mereka saling merasa paling benar. Aku diutus hanya sebagai rahmat.”

Manusia terlalu serius membela simbol, sampai lupa mencicipi makna.

Dan sebelum mereka pulang, Yesus meletakkan tangan di dada dan berkata:

“Kasihilah musuhmu, karena dengan itu kau mencintai bagian terdalam dirimu yang belum sembuh.”

Buddha menutup dengan satu kalimat hening:

“Lepaskan… dan kau akan menemukan.”

Muhammad pun menyambung:

“Ikutilah cahaya bukan karena takut, tapi karena cinta.”

Mereka pun berjalan pergi, meninggalkan obrolan itu tertinggal di udara… dan mungkin, jika kita cukup diam dan hening, kita bisa ikut mendengarnya hari ini.

“Jika tiga cahaya dari langit bisa duduk tanpa debat, kenapa kita yang di bumi malah bertarung soal lilin?”

-AM

449 - 52

ABU MARLO
Posted 6 days ago

“Sidang di Warung Kopi Antah Berantah”

Bayu:
Togar, lu liat berita? Anak pejabat nyerempet orang, korban koma, eh malah dapet perlindungan.

Togar:
Oh itu yang katanya CCTV-nya tiba-tiba “error”, terus pelaku disembunyiin, tapi korban diseret di medsos?

Bayu:
Persis! Ini bikin frustrasi. Gue kuliah hukum biar bantu rakyat, tapi lama-lama gue ragu: hukum ini buat siapa sih?

Togar:
Sabar, Bay. Di atas kertas semua orang sama. Tapi pas turun ke lapangan, hukum itu kayak ojek online: ngebut kalo dapet order dari yang punya kuasa.

Mamak Yuli:
Iya, dulu ada emak-emak nyolong popok karena anaknya nangis. Langsung viral, dihukum. Tapi yang korupsi dana bansos? Cuma bilang “hilap”.

Bayu:
Masalahnya bukan hukum, tapi penegaknya. Yang berdasi bisa ‘nego’ pasal, yang pakai sendal jepit ditendang pas persidangan.

Togar:
Udah jadi semacam reality show, Bay. Judulnya: “Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas - Episode Hari Ini”.

Mamak Yuli:
Tapi netizen juga aneh. Kalo korbannya artis, baru rame. Kalo rakyat biasa? Paling mentok cuma story 24 jam.

Bayu:
Mamak, aku jadi mikir… keadilan itu bukan lagi soal benar atau salah, tapi soal siapa yang punya koneksi, kamera, dan kuasa.

Togar:
Dan kalau lo rakyat kecil, satu-satunya harapan lo itu… viral.

Bayu:
Sedih banget. Hukum jadi kayak karaoke: siapa yang bayar, dia yang nyanyi.

Mamak Yuli:
Makanya, aku tuh heran. Tiap ganti pejabat katanya “reformasi hukum”. Tapi rasa-rasanya kayak ganti bungkus mi instan, isinya tetep micin semua.

“Di negeri antah berantah ini, hukum bukan lagi panglima dia cuma figuran yang muncul pas sinetron rating-nya naik.”

-AM

334 - 17

ABU MARLO
Posted 1 week ago

“Pemain dan Sandera”

Arum: Aku capek, Aris. Aku tahu dia player, tapi entah kenapa aku gak bisa pergi. Dia satu-satunya yang bilang aku berharga, meskipun dia cuma datang dan pergi sesuka hati.

Aris: Kamu sadar dia cuma main-main, tapi kenapa kamu masih bertahan?

Arum: Karena rasanya lebih baik ada dia, meskipun cuma remah-remah. Aku gak pernah ngerasain disayangi kayak gini, bahkan sama diriku sendiri.

Aris: Itu bukan disayangi, itu kamu yang lagi nyandera dirimu sendiri. Dia kasih kamu setetes manis, lalu sisanya racun.

Arum: Tapi Aris, aku takut sepi. Takut kalau aku pergi, aku gak akan nemuin orang yang mau sama aku.

Aris: Itu cuma ketakutanmu sendiri, bukan cinta. Kamu udah kecanduan drama: dia pergi, kamu nangis, lalu dia balik lagi, dan kamu sambut dia lagi. Kayak roller coaster yang nggak pernah berhenti.

Arum: Aku tahu. Tapi tujuh tahun ini, aku udah kebiasa disakitin. Rasanya lebih gampang nerima “pukulan yang familiar” daripada keheningan yang asing.

Aris: Dengar, Arum. Ini yang dinamain trauma bonding, keterikatan yang lahir dari luka, bukan cinta. Teori psikologi bilang: orang terjebak manipulasi emosional yang bikin ketagihan “rasa hangat” sesaat, padahal itu cuma ilusi. Lebih baik hening yang asing daripada luka yang kamu anggap rumah.

Arum: Aku takut… takut sendirian.

Aris: Kamu gak sendiri. Kamu cuma belum berdiri buat dirimu sendiri dan coba peluk dirimu lebih dalam daripada siapa pun yang datang dan pergi.

Arum: Tapi gimana caranya meyakinkan hati yang udah keburu percaya sama kebohongan?

Aris: Ingat, yang bohong itu dia, bukan hatimu. Hatimu cuma terlalu tulus, terlalu sabar. Kamu harus bilang ke hatimu: “Aku layak lebih dari ini.” Ini bukan cuma kata-kata manis, teori trauma bonding tuh nyata, dan kamu harus putus rantainya sendiri. Baru kamu benar-benar bebas dari drama yang kamu kira cinta.

Arum: Jadi aku harus berhenti jadi korban?

Aris: Kamu bukan korban, Arum. Kamu adalah sutradara yang berhak menentukan ending ceritamu sendiri. Kamu cuma perlu satu langkah berani untuk percaya bahwa cinta sejati bukan bikin kamu tunduk, tapi bikin kamu tumbuh.

-AM

247 - 12

ABU MARLO
Posted 1 week ago

“Lari dari Sepi”

Pras:
Aku capek, rasanya aku terus lari-lari sendiri. Dia bilang dia suka aku juga, tapi kenapa rasanya aku sendiri yang ngejar?

Luna:
Karena cinta yang cuma satu arah, Pras, itu bukan cinta. Itu obsesi.
Kau sedang jatuh cinta pada ilusi bukan orang yang sungguhan hadir untukmu.

Pras:
Tapi dia bilang dia juga merasakan hal yang sama… meskipun dia sibuk.

Luna:
Kata “sama” itu mudah, Pras. Tapi kalau kau lihat: dia tak pernah memulai, tak pernah hadir utuh. Itu bukan cinta yang saling memilih. Itu hanya… basa-basi yang bikin kau tetap berharap.

Pras:
Jadi ini semua sia-sia?

Luna:
Tidak sia-sia tapi ini jadi pelajaran. Ingat, cinta sehat itu mutual. Kalau kau sudah harus “membakar diri” demi sedikit kehangatan, itu bukan cinta, itu kau yang memikul tanggung jawab yang bukan milikmu.

Pras:
Aku… capek harus selalu jadi yang pertama minta waktu. Aku capek jadi yang selalu “bukti-bukti” kalau aku cukup layak.

Luna:
Karena bukan tugasmu membuktikan apa-apa. Kau tak bertanggung jawab atas kebahagiaan, emosi, atau ekspektasi orang lain.

Pras:
Tapi… aku takut kehilangan dia, Luna. Aku takut kalau berhenti lari, aku beneran sendiri.

Luna:
Kehilangan apa, Pras? Sesuatu yang kau tak pernah benar-benar miliki?
Kalau dia tak pernah hadir utuh, apa yang sebenarnya kau genggam?

Pras:
Jadi…

Luna:
Berhenti.
Lepaskan kebiasaan memikul tanggung jawab yang bukan milikmu.
Biarkan dia tetap sibuk dengan dunianya dan kau belajar berdiri sendiri dalam duniamu.
Kalau kau memaksa, kau hanya menulis puisi patah hati di kepala sendiri.

Pras:
Tapi… semua momen itu, semua “good times” yang pernah ada…?

Luna:
Nikmati sebagai kenangan. Biarkan “good times” tetap jadi “good times”. Jangan dipaksa jadi masa depan yang palsu.
Seperti kata orang bijak: “Stop choosing what isn’t choosing you.”

Pras:
Jadi aku bukan harus cari orang yang mau “diselamatkan”?

Luna:
Betul. Kau bukan penyelamat. Kau bukan lilin yang harus selalu menyala buat orang lain.
Cinta bukan tentang siapa yang rela membakar diri, cinta itu saling memberi, saling memilih.
Kalau hanya kau yang lari, itu bukan cinta itu hanya pelarianmu dari rasa sepi.

-AM

484 - 28

ABU MARLO
Posted 1 week ago

“Menikah untuk Bertumbuh, Bukan Sembuh”

Nadia:
“Pak, kita mau nikah. Tapi jujur… aku takut banget. Takut nyakitin Reza, takut disakiti juga…”

Reza:
“Kadang aku ngerasa, aku belum jadi cowok yang sempurna buat dia. Aku masih overthinking, gampang emosi, terus… masih belum sembuh dari trauma masa kecil.”

Pak Rahman:
“Kalian tahu nggak… kebanyakan orang tertarik pada yang familiar, bukan yang “sehat”. Mereka menikah karena luka yang sama.”

Mereka berdua saling pandang.

Pak Rahman:
“Kita pikir kita cinta seseorang. Tapi sering kali kita cuma ingin luka kita diobati. Kita nyari pengganti ayah yang dulu dingin. Kita nyari pelukan yang dulu gak kita dapat dari ibu. Kita berharap pasangan kita ngerti tanpa kita ngomong. Tapi sayangnya, pasangan kalian bukan peramal. Dia bukan penyelamat. Dan dia bukan Tuhan.”

Nadia:
“Jadi gimana, Pak? Kita gak boleh nikah dulu?”

Pak Rahman:
“Bukan soal boleh atau enggak. Tapi sadari: menikah itu bukan untuk menyembuhkan, tapi untuk bertumbuh.
Kamu akan melihat sisi paling gelap dari dirimu sendiri. Dan justru di situlah ladang belajar kalian.”

Reza:
“Tapi aku takut kalau nanti malah saling nyakitin…”

Pak Rahman:
“Itu pasti terjadi. Bahkan orang yang paling kamu cintai pun, akan membuatmu menangis. Tapi bedanya, apakah kalian akan menyakiti… atau memahami?”

Ia diam sebentar, lalu berkata:

“Cinta itu bukan selalu bahagia. Tapi kehadiran.
Memaafkan bukan karena lupa, tapi karena sadar semua manusia sedang bertumbuh. Termasuk kamu.”

Nadia:
“Pak… kalau gitu, gimana caranya tahu kita siap menikah?”

Pak Rahman:
“Coba jawab ini:
Sudahkah kamu berdamai dengan ayah ibumu?
Kalau dia ninggalin kamu suatu hari nanti… kamu masih tahu siapa dirimu?
Apakah kamu bisa mendengarkan tanpa defensif?
Dan mencintai tanpa ingin memiliki?”

Mereka terdiam.

Pak Rahman:
“Cinta sejati itu bukan ‘aku milikmu’. Tapi ‘aku hadir bersamamu’.
Menikahlah bukan karena kalian sudah sembuh.
Menikahlah karena kalian siap tumbuh bersama-sama. Dengan sabar, dengan sadar, dan dengan kasih yang bukan cuma perasaan… tapi pilihan.”

-AM

466 - 23